Istilah culture shock
pertama kali diperkenalkan oleh tokoh antropologis Oberg.
Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan
yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang
familiar dalam hubungan sosial, termasuk didalamnya seribu satu cara yang
mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya: bagaiman untuk memberi
perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu
merespon. Deddy Mulyana lebih mendasarkan cultural shock sebagai
benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan pesepsi berdasarkan faktor-faktor
internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan
dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia
pahami. Di indonesia cultural shock sering disebut dengan istilah gegar
budaya di mana seseorang mengalami goncangan perasaan (kecemasan) yang diakibatkan
oleh perbedaan nilai kebudayaan baru yang tidak sesuai dengan pola nilai
kebudayaan yang sudah di anutnya sejak lama.
Efek dari culture shock beraneka macam. Mulai dari merasa
cemas, kesepian, cepat marah, tidak nyaman, hingga homesick.
Ada 4 fase
penyesuaian diri kita ketika memasuki dunia yang baru:
1. Honeymoon Phase
Honeymoon Phase adalah
sebuah fase dimana anda akan sangat menyukai apa yang anda alami di tempat baru
anda. Anda akan menyukai bagaimana orang-orang lokal sangat sopan terhadap
anda, menyapa dengan ramah, dan semua terasa indah bagai mimpi jadi nyata.
2. Negotiation Phase
Fase ini adalah fase dimana
anda akan mulai merasa tidak nyaman dengan lingkungan sekitar anda. Biasanya
kendala bahasa adalah masalah utama. Anda mulai merasa cemas karena orang-orang
di sekitar anda berbeda dengan orang-orang di lingkungan asal anda. Anda akan
mulai merasa homesick dan ingin kembali ke tempat semula.
3. Adjustment Phase
Fase ini biasanya dimulai
setelah 6-12 bulan tinggal di daerah baru. Anda akan mulai bisa menyesuaikan
diri dengan budaya lokal. Semua akan mulai terasa lebih “normal” bagi anda.
Anda merasa lebih bisa menyatu dengan lingkungan anda. Anda tidak lagi merasa
berbeda dengan orang-orang di sekitar anda.
4. Mastery Phase
Pada fase ini anda sudah
merasa sangat nyaman dengan pola kehidupan baru anda. Meskipun sudah nyaman dan
terbiasa, bukan berarti anda sepenuhnya berubah. Anda tetap akan membawa ciri
khas budaya asal anda, seperti aksen bicara, logat, kebiasaan, dan lainnya.
Meskipun adaptasi adalah
sebuah kemampuan yang sangat penting bagi kita untuk dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan sekitar, beberapa orang memilih untuk bertahan dengan budaya
asalnya dan menganggap budaya tempat tinggal baru mereka sebagai bahaya.
Orang-orang yang bersikap “defensif” ini dengan sengaja
menolak untuk membiasakan diri dengan budaya baru tempat mereka tinggal. Mereka
menganggap budaya asal mereka sebagai satu-satunya budaya yang paling benar di
dunia. 60% ekspatriat memiliki sikap seperti ini. Mereka tidak hanya akan
kesulitan beradaptasi di negara tujuan, tetapi juga akan kesulitan ketika
kembali ke negara asalnya.
Beberapa orang (10% dari seluruh ekspatriat) mampu
beradaptasi sepenuhnya dengan budaya di negara tujuan. Mereka pada umumnya
menetap di negara tersebut.
30% dari jumlah total ekspatriat berada di tengah-tengah,
Kelompok ini mau menerima budaya lokal yang mereka anggap baik. Orang-orang di
grup ini mampu beradaptasi dengan baik dan tidak akan mengalami masalah
adaptasi jika mereka harus berpindah-pindah negara. Mereka juga tidak akan
mengalami masalah ketika kembali ke daerah asal.
Bagaimana Cara Mengatasi Culture Shock?
Lalu, bagaimana agar tidak
mengalami depresi akibat culture shock ketika kuliah di Universitas Gunadarma
atau kampus lainnya? Cara paling mudah adalah dengan mempelajari dengan
baik tempat tujuan anda. Cari tahu tentang daerah tujuan anda, tanya kepada
yang sudah pernah tinggal di sana, atau cari informasi dari internet.
Cara terbaik untuk mendapatkan teman adalah dengan humor.
Tapi ingat untuk mempelajari budaya daerah lain terlebih dahulu sehingga humor
anda tidak menyinggung perasaan orang lokal.
Pelajari tempat-tempat penting seperti
supermarket, rumah sakit, kantor pos, restoran, dan lain-lain di daerah anda.
Mengetahui posisi tempat-tempat umum sangat penting, terutama jika anda belum
terlalu mengenal daerah kampus anda yang baru.
Aktif dalam kegiatan kampus.
Anda akan selalu diterima dalam aktivitas apapun. Saya termasuk mahasiswa yang
cukup rajin bermain di kampus. Dari sana saya mendapatkan lebih banyak teman,
sehingga proses adaptasi saya jauh lebih mudah.
Sering berkumpul dengan teman yang berasal dari daerah
lain. jika anda sering berkumpul dan bermain bersama teman anda
yang berasal dari daerah lain, anda akan otomatis mengerti perbedaan logat,
sikap dan tingkah laku. Hal ini juga dapat memberi anda ilmu budaya baru secara
tidak langsung.